SELAYANG PANDANG

Pemuda Demokrat Indonesia di dirikan pada tanggal 31 Mei 1947 di Sala, mempunyai landasan idiil adalah Pancasila 1 Juni 1945 dan azas perjuangan Marhaenisme ajaran Bung Karno.


Pemuda Demokrat Indonesia adalah organisasi kemasyarakatan sekaligus organisasi pergerakan yang bersifat independen dan terbuka, anti penindasan, kemiskinan dan ketidakadilan.


Pemuda Demokrat Indonesia bertujuan :

1. Mempertahankan dan mengamankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Mengisi kemerdekaan dengan mewujudkan masyarakat adil dan makmur material spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
3. Mewujudkan tercapainya perdamaian dunia yang sempurna dan abadi yang menjamin hubungan antar bangsa atas dasar persamaan hak dan derajat dalam satu dunia baru yang bebas dari kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, feodalisme, komunisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.


Pemuda Demokrat Indonesia berfungsi sebagai :

1. Wadah persatuan dan kesatuan sekaligus alat perjuangan bagi segenap Pemuda Nasionalis, Pancasilais dan Marhaenis;
2. Tempat mendidik dan menggembleng para pemuda menjadi kader pemimpin segenap lembaga dan tingkatan;
3. Kekuatan moral dan kekuatab sosial, keikutseraan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Dalam rangka mewujudkan fungsi serta tujuan organisasi, Pemuda Demokrat Indonesia berusaha :

1. Melaksanakan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945;
2. Menanamkan dan menumbuhkembangkan kesadaran serta kecintaan ber-Bangsa, ber-Tanah Air, ber-Bahasa Indonesia;
3. Berperan aktif, korektif, konstruktif dalam proses pembangunan bangsa dan negara;
4. Meningkatkan hubungan dan kerjasama dengan organisasi pemuda, baik dalam negeri maupun luar negeri atas dasar persamaan han dan persamaan derajat.















Kamis, 21 Januari 2010

Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo & Pemberontakan di Banten

By redaksi

Selasa, 11-Desember-2007, 07:33:11 34 clicks

Jumat 7 Desember 2007 pukul 00.40, Sejarawan dan Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof. Dr. Aloysius Sartono Kartodirdjo meninggal dalam usia 86 tahun di RS Panti Rapih, Yogyakarta.

Oleh Hendri F. Isnaeni

Jumat 7 Desember 2007 pukul 00.40, Sejarawan dan Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof. Dr. Aloysius Sartono Kartodirdjo meninggal dalam usia 86 tahun di RS Panti Rapih, Yogyakarta. Indonesia pun kembali berduka. Setelah kepergian sejarawan Ong Hok Ham, kembali kehilangan putra terbaiknya.

Semasa hidupnya, Prof Sartono mendedikasikan diri menggeluti sejarah Indonesia. Kehadirannya telah memberikan secercah perubahan dalam kancah intelektual sejarah Indonesia. Ia adalah wakil generasi baru guru sejarah Indonesia yang menerapkan metode penelitian modern pada lapangan studi sejarah. Ia dikenal sebagai perintis mazhab historiografi “sejarah lokal”, “sejarah dari dalam”, dan tinjauan “sejarah dari disiplin ilmu sosial”.

Pemberontakan Petani Banten 1888

Menurut Prof Sartono, bangsa Indonesia sebelum perang sebenarnnya memiliki etos nasionalime berupa rela berkorban. Salah satu contohnya adalah Pemberontakan Petani Banten pada tahun 1888 atau sering juga disebut dengan Geger Cilegon 1888. Peristiwa bersejarah itu menjadi bahan disertasinya: The Peasant’s Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia yang memperoleh cum laude dari Universitas Amsterdam, Belanda tahun 1966. Studi ini menjadi referensi gerakan sosial dan petani di Indonesia.

Menurutnya penulisan disertasi bertemakan gerakan sosial─dalam hal ini dilakukan oleh para petani yang dipimpin oleh Kyai Wasid dan Jaro Kajuruan didorong oleh hasrat melancarkan protes terhadap penulisan sejarah Indonesia yang konvensional dan Neerlandosentris. Menurut M. Nursam, Sejarawan dan Penulis Buku Biografi Sartono Kartodirdjo, upaya yang dilakukan Prof Sartono melalui social scientific approanch telah memberikan cahaya terang dan arah historiografi Indonesiasentris. Petani atau orang-orang kecil yang dalam sejarah konvensional menjadi non-faktor, dalam karya Prof Sartono justru menjadi aktor sejarah.

Pemberontakan Di Banten

Banten memiliki sejarah pemberontakan yang panjang. Semenjak Kesultanan Banten sebagai pemegang otoritas politik dihapuskan oleh Willems Daendels, tercatat ada empat kali pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda. Pertama, pada 1850 dipimpin oleh H. Wakhia. Kedua, pada 1888 yang dilakukan oleh (mayoritas) para petani di bawah komando H. Wasid dan Jaro Kajuruan─unsur jawara─. Ketiga, pada 13 November 1926 di Menes, Kabupaten Pandeglang. Pemberontakan itu terjadi pukul satu malam, sekitar empat ratus orang bersenjata bedil dan kelewang, sebagian besar mengenakan pakaian putih menyerbu kediaman Wedana Raden Partadiningrat. Keempat, terjadi pada 1945. Pemberontakan ini lebih merupakan pertanda kebebasan dari cengkraman kolonialisme.

Dari sekian pemberontakan, ada satu pemberontakan yang cukup menggelitik, yaitu pemberontakan pada 13 November 1926. Pemberontakan ini dipimpin oleh tokoh Muslim-Komunis K.H. Achmad Chatib. Michael C. Williams dalam disertasi doktor menyebutnya sebagai pemberontakan komunis. Ini hal yang unik, bagaimana bisa pekikan Allahhu Akbar berkumandang di dalam sebuah pemberontakan komunis, sebuah ideologi yang dikenal anti-Tuhan.

Ini adalah paradoks yang nyata. Ketika timbul pendapat bahwa tidak satu pun agama yang memendam resistensi mendalam terhadap komunisme selain Islam, sejarah membuktikan bahwa di Indonesia pendapat itu tidak selamanya benar. Sejarah itu telah mementahkan pernyataan JC. Bedding, pensiunan Residen Banten yang menulis surat untuk Gubernur Jenderal pada bulan Maret 1925, “Rakyat Banten sangat religius dan konservatif, sehingga komunisme tidak akan pernah berkembang di sini.“

Sejarah pemberontakan 1926 menjadi keunikan tersendiri. Peristiwa serupa juga terjadi di Silungkang (Sumatera Barat). Kedua daerah yang dikenal konsevatif dan ortodok terhadap ajaran Islam, justru menjadi pusat perlawanan yang paling gigih dalam menentang kolonialisme.

Prinsip Kebangsaan

Bagi Prof Sartono, dalam pembangunan bangsa, seorang sejarawan memiliki peranan penting dalam merekonstruksi sejarah nasional sebagai lambang identitas nasional. Prof Sartono menawarkan lima prinsip dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak dapat ditawar jika sebuah bangsa ingin mencapai kondisi yang relatif mapan. Kelima prinsip itu adalah unity (persatuan dan kesatuan), liberty (kemerdekaan dan kebebasan), equality (persamaan hak), personality (identitas dan kebudayaan), dan performance (prestasi atau etos bangsa).

Pemberontakan Petani Banten 1888─serta pemberontakan (atau lebih tepatnya perjuangan) rakyat di seluruh nusantara─adalah wujud amalan dari prinsip kebangsaan.

Oleh karena itu, sebagai generasi yang hidup di alam kemerdekaan, sudah sepantasnya kita mengamalkan prinsip kebangsaan tersebut dengan berpijak pada nilai-nilai sejarah karena sejarah adalah cara kehidupan berpetuah kepada kita. Melupakan sejarah berarti menampik petuah kehidupan dan menutup pintu bagi masa depan.

Kita memang telah kehilangan begawan sejarah Indonesia. Kepergiannya begitu menyengat, di tengah-tengah minimnya apresiasi bangsa ini terhadap sejarah─jika memang peduli tidak mungkin mengeluarkan kebijakan untuk menarik buku-buku sejarah (serupa dengan peristiwa orde baru)─. Tetapi kita harus yakin, meskipun Prof. Sartono telah tiada, pemikiran-pemikirannya tidak akan pernah lekang dan akan terus menyala menerangi perjalanan sejarah Indonesia.

Sebagai insan yang hidup dari tiap bongkahan sejarah, saya ucapkan, selamat jalan Prof. Sartono ke pangkuan-Nya dengan damai!***

Penulis adalah wartawan, pemerhati Sejarah Banten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar